Kamis, 09 Juni 2011

Keberhasilan Semu

Wusss…ssss....
Angin pagi menyambut sang raja malas ini. Mata terpincing memandang jauh di satu titik pusat penghayalan. “Hem… mungkin hari ini akan menjadi hari yang melelahkan. Sehari dua ulangan sekaligus. Bisa nggak ya?”
Kuambil handuk dan mulai menyiapkan segala macam tetek bengek untuk sekolah. Tak berapa lama semua telah siap. Aku ayunkan kaki menggayuh sepeda kesayangan, Melewati sungai dan persawahan yang cukup membuatku kagum atas karunia Tuhan. Menikmati udara pagi yang tak bisa aku temui di daerah perkotaan. Cukup kontras. Desa yang tentram. Disuguhi berbagai macam mukjizat Tuhan. Hamparan padi yang mengkuning siap untuk dipanen. Gemericik sungai yang mengalir menambah keindahan desaku ini. Desa yang asri. Desa yang damai. Inilah desaku. Kota yang panas. Penuh kebisingan. Penuh polusi yang tak mampu dihindari.
Gerbang neraka masih terbuka lebar. Maklum masih 30 menit bel dibunyikan. Jelas saja. Gerbang sekolahku mendapat julukan gerbang neraka. Jika ada siswa yang tak bisa selamat dari gerbang ini atau bahasa singkatnya TELAT, maka mereka harus bersiap diri menghadapi caci-maki dari guru senior kita. Selain itu nasehat panjang lebar juga harus didengar selama dua jam penuh. Mungkin, untuk shock therapy gitu. Biar murid-muridnya nggak telat. Sekarang siapa si yang mau dua jam nonstop berdiri ma dengerin ceramah yang terkadang bikin males dan ngantuk? Haaaa...dan juga murid yang telat harus rela hati berlari mengitari kampus Kampung Pitu sebanyak tujuh kali. Tujuh kali!!! Aku jamin bakal kleee…ngeeer. Tapi nggak apa-apa sih, disamping berolahraga bersama juga diet secara tidak langsung. Haha… Maka dari itu, aku mengikhlaskan diri bangun pagi untuk menyelamatkan diri. Pernah suatu ketika siswa yang terlambat mencapai 200 orang. Bayangkan! 200 orang ! Berarti 10% dari penghuni sekolah. Wah…keren. Harusnya dapat rekor muri dong ! Hemzzz… Tanpa ada paksaan, mulut pedas guru kesiswaan siap beraksi. Yah, mereka tinggal pasang muka melas. Menundukkan kepala da…nnnn berdoa.
Kusandarkan sepedaku di pohon dekat ruang kelasku. Ini demi menjaga keamanan. Siapa tahu ada yang melirik sepeda kesayanganku. Dan mencoba untuk memilikinya. Mimpi kali?!! Sepeda seperti punyaku mana ada yang mau. Sudah jelek, kecil, tak bermerek lagi. Tapi, yang harus dipertimbangkan sepeda ini selalu lolos dari gerbang neraka. Hebat kan??!
Perjalanan panjangku aku lanjutkan. Sebenarnya aku sedikit malas karena hari ini aku akan bertemu dengan seseorang yang telah sukses dan berhasil membuat teman sekelasku jengkel. Kata-katanya tak layak didengar oleh kami semua. Tapi, kami mencoba untuk bersabar karena orang yang sabar disayang Tuhan. Begitulah kata adikku tercinta. Dimaklumi saja! Namanya juga masih anak TK. Haha….
“Pagi semua?” Suaraku membuat penghuni sekelas kaget setengah hidup. Semua mata tertuju padaku. Haha…gayaku sok jadi miss Indonesia. Banci kali! Tapi aku berbakat juga ya dalam memikat orang? Narsis banget diriku ini. Ya, beginilah seorang aku. Hidup apa adanya. Mengalir bagai air. Karena prinsipku “nggak narsis nggak hidup!”. Wakakakk…. Yang penting kita nggak boleh terlalu PD. Bisa bahaya!!!”
“Duh, temen-temenku ini rajin-rajin banget sih. Pagi-pagi pegangannya sudah buku catatan. Takut nilai jelek ya? Ayo ngaaa…ku!”
“Eh, Ri. Nyantai banget sih jadi orang. Hari ini tuh ada dua kali ulangan lo. Apa gak takut dapat nilai do,re,mi… ?”
“Ya..ya..ya…Aku kasih tahu ya Sen. Hidup itu gak usah dibikin ribet. Yang penting kita tahu tujuan hidup. Simple is perfect. Hahaa….
“Maksud lo?” Tanya Sendi ingin tahu.
“Sini tak kasih tahu. Kita tu sekolah bukan untuk cari nilai. Tapi cari ilmu!!! Kita bisa dapat nilai sesuka kita. Tapi cari ilmu itu yang lebih penting. Cari nilai bagus tu gampang. Terkadang orang yang tujuan sekolah hanya cari nilai, mereka tu akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang mereka inginkan. Contohnya saja mereka nyontek. Sudah dapat dosa ditambah lagi merugikan diri kita sendiri. Kita hanya akan pintar di secarik kertas. Tapi sebetulnya otak? Kosong! Kamu harus berubah haluan. Kita itu sekolah untuk cari ilmu dan untuk kita terapkan. Bukan untuk dihafalkan! Tapi dipahami dan dimengerti! Negeri ini tidak butuh pemimpin yang hanya pintar teori. Tapi praktiknya nol besar. Kita butuh pemimpin yang tidak senang ngumbar janji. Kitalah generasi negeri ini. Maka dari itu mulai sekarang hindari menyontek. Lebih baik dapat nilai do,re,mi daripada dapat nilai sempurna dan itu hanya kebohongan belaka. Siapkah dirimu berkata selamat tinggal “nyontek”???”
“Ssssiiiiap…! Tidak!” Jawab Sendi lantang.
“Lo kenapa? Kamu mau menghancurkan negeri ini?”
“Tidak!”
“Terus?”
“Aku tak ingin apa-apa. Aku hanya ingin nilai perfect. Aku ingin membahagiakan orang tuaku.”
“Dengan cara menyontek?”
“Ya”
“Kapan kamu akan sadar. Keberhasilan seseorang tidak ditentukan dengan barisan nilai perfect di dalam rapor. Tapi barisan ide-ide di dalam otak kita yang akan kita aplikasikan untuk kemajuan negeri kita!”
“Terserah kamu. Tapi aku tak mau! Lihat saja. Aku akan tunjukin kalau aku bisa mendapat nilai perfect.
“Sen, ingat! Bentar lagi kita ujian kelulusan! Aku tak mau kamu gagal.”
“Cukup! Aku tak mau mendengar ocehanmu lagi. Lebih baik kamu kembali ke tempat dudukmu dan baca semua cacatan! Atau perlu buat contekan seperti aku. Ingat nilai perrrr….fect! Tak ada salahnya kita curang. Yang penting pujian sana-sini. Hahaa….”
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Merasa miris mendengar ini semua. Kapan negeri ini maju jika generasi muda saja sudah tak bisa diandalkan. Dalam hatiku hanya bisa berdoa. Semoga dirimu diberi petunjuk jalan yang benar, sobatku.
“Kamu bisa dengar gak sih? Apa perlu tanganku ini yang mengusir kamu?”
“Oh, tenang saja. Tak perlu repot-repot. Selamat berjuang!”
Kutinggalkan meja yang penuh dosa itu. Coretan rumus-rumus disana-sini. Sudah mirip cetakan buku kumpulan rumus. Sebenarnya aku merasa heran. Aku tak mengerti kenapa Sendi jadi berubah 180 derajat. Sendi yang kukenal sekarang tak lagi seperti dulu. Hatinya sekarang sudah keras seperti batu. Dulu dia pantang dengan yang namanya nyontek. Walaupun nilainya tak mampu perfect tapi dia sudah bersyukur. Ia juga sadar begitulah kemampuannya. Namun sekarang sifat itu sudah tergantikan dengan sifat sombongnya. Apa yang terjadi padanya? Hal ini menjadi tanda tanya besar di benakku. Aku harus cari tahu. Pasti ada sebab dan alasan dibalik semua ini.
Kuletakkan tas lusuhku di meja paling depan. Duduk memosisikan tubuh kecilku di kursi yang telah tulus ikhlas menemani hari-hariku. Aku terdiam sejenak. Mencoba mengingat-ingat materi yang telah diberikan sebagai bahan ulangan hari ini. Kupejamkan mata. Dan…bel tanda masuk telah berbunyi. Kuambil kertas ulangan yang terselip di dalam buku catatan matematikaku. Tak tahu kenapa mataku tertuju kepada Sendi yang sedang asyik membuat contekan. Sebenarnya, kasihan juga melihat dia yang tertipu dan hanyut dalam kebohongan. Aku tak sanggup membiarkan dia terus begini. Aku harus selamatkan dia!
Seorang guru memasuki kelasku tecinta ini. Tumpukan buku-buku sudah terpatri erat dilengannya. Karena tak kuat menahan, satu persatu dengan penuh penghayatan beliau tanggalkan buku-buku itu dan meletakkannya di atas meja guru tepat di depan mejaku. Tanpa dikomando terlebih dahulu beliau atau kita panggil saja Ibu Kis dengan suara merdunya memecah kegaduhan ruang 31 ini. Gimana nggak pada kelabakan. Materi ulangan seabrek. Gurunya terkenal kolot. Soalnya singkat tapi jawabannya pannn…jang kayak kereta. Bahkan melebihi sabang sampai merauke. Sudah gitu soalnya banyak banget. Tapi itu tak jadi masalah bagiku. Yang penting usaha dan doa. Nggak perlu nyontek. Mengerjakan soal semampuku. Aku juga sadar. Setiap manusia punya keterbatasan. Seperti aku, terbatas akan harta kekayaan. Tapi itu nggak membuatku merasa harus lengah dan tak bersemangat. Justru karena itu aku mau perjuang untuk masa depanku. Biarlah hidupku sekarang begini, tetapi aku yakin roda akan terus perputar. Tuhan pasti merestui jika aku berdiri di jalan yang benar meski cobaan terus menghadang. Aku yakin! Aku sanggup! Aku sanggup merubah nasibku menjadi lebih baik jika aku konsisten dengan prinsipku. Aku tak mau terbuai akan jabatan, harta melimpah dan rumah yang megah jika aku harus menggadaikan prinsip. Tidak!!! Tidak ada niat sedikit pun untuk berkata iya. Karena di setiap kesulitan pasti ada jalan dan kesempatan walaupun hanya selubang jarum. Aku yakin!
“Ok, anak-anak. Siapkan selembar kertas. Beri nama, nomor absen dan kelas!” Suara Bu Kis membangunkan aku dari lamunan yang panjang.
“Bu, selembar kertas aja nggak bakal cukup. Soal Ibu saja banyaknya kayak bintang dilangit memberikan sinarnya…bla...bla...bla....” Protes Jo dengan gaya kucluknya. Mau ulangan masih saja konser. Mending suaranya merdu. La ini suara hancur, nggak nyadar-nyadar lagi.
“Kamu itu, sudah ulangan nggak pernah tuntas, bisanya cuma protes.”
“Bu, satu lagi. Eh, maksud saya dua lagi.”
“Apa lagi Jo, Paijo?”
“Kan belum berdoa, Bu. Terus juga belum diabsen. Masak langsung ulangan. Tu namanya menyalahi hak dan kewajiban umat beragama juga menyalahi prosedur. Iya kan teman-teman?”
“Se…tu…ju….” Teriak suara satu kelas.
“Diam semua!”
“Wah, taringnya mulai keluar.” Bisik Paijo.
Aku hanya bisa mengelus dada. Memang di kelasku Paijo terkenal sebagai anak yang badung nggak tahu yang namanya sopan santun. Tapi yang aku kagumi dari dia adalah hari-harinya selalu diiringi oleh doa. Setiap melakukan segala sesuatu dia selalu berdoa.
“Paijo.”
“Iya, Bu.”
“Pimpin doa!”
“Siap! Laksanakan!” Tersenyum tipis dan berjalan layaknya pemimpin perang yang tak berpengalaman melawan musuh.
“Mari teman-temanku yang Jo sayangi dan cintai, kita berdoa bersama. Jo mohon kalian berdoa dengan serius! Berdoa mulai!”
Semua wajah tertunduk. Kedua tangan menengadah. Memuji keagungan Tuhan. Meminta belas kasihNya. “Berdoa selesai.”
“Kembali ke tempat Paijo!”
“Tak perlu disuruh, Bu. Jo juga tidak ingin lama-lama berdiri disini. Pegel, Bu.”
Bu Kis tak mampu berkata. Beliau hanya terdiam. Bu Kis sudah tak sanggup menasehati Jo alias Paijo. Beliau hanya bisa pasrah.
“Sekarang atur posisi tempat duduk kalian! Jangan sampai ada satu buku pun di atas meja. Tas tolong diletakkan di belakang! Ibu nggak mau ada kata nyontek di kelas ini. Mengerti semuanya?”
Semua mulut menjawab dengan serentak kecuali Jo alias Paijo yang terdiam. Tangannya terangkat. Seperti layaknya pengunjung rumah makan yang meminta semangkok bakso.
“Apa lagi Jo?”
“Bu, kalau nyontek nggak boleh, tanya teman boleh kan, Bu?”
“Huuuu...,” sorak teman sekelas.
“Diam semua! Dan kamu Jo.”
“Ya, Bu.”
“Jaga mulut kamu! Kamu mau nilai kosong di rapormu nanti?”
“Tidak! Maafin Jo Ibu Kis yang cantik….” Gayanya sok merayu.
Ciiee…ciiee…
“Sudah cukup! Sekarang waktunya ulangan.”
Ibu Kis membagikan lembaran kertas yang telah terisi penuh dengan soal-soal. Setiap siswa mendapatkan satu lembar. Sebagian siswa mengeluh, mengumpat, ada juga yang cuma garuk-garuk kepala. Tapi yang kulihat dari raut wajah Sendi hanya ketenangan. Ia tersenyum tanda kemenangan. Mungkin contekannya pas dengan soal-soal ulangan. Aku tak mau galau. Kucermati satu persatu soal dan mulai mengerjakan. Walaupun mungkin aku nggak bisa dapat nilai perfect itu nggak masalah bagiku. Yang penting aku bisa tahu kemampuanku dengan bermodal kejujuran.
Bu Kis berjalan mondar-mandir dari depan ke belakang. Dari kanan ke kiri. Melenggak-lenggok seperti seorang peragawati. Waktu pun terus berjalan tanpa pamrih. Dari detik ke menit. Dan dari menit ke menit menyatu dalam hitungan jam.
“Lima menit lagi semua kertas ulangan harus sudah tertata rapi di meja paling depan!”
Banyak siswa yang kaget. Soal sebanyak ini mana bisa selesai dalam waktu 60 menit. Ujian Nasional saja cuma 50 soal dan waktu yang disediain 120 menit. Ditambah lagi Cuma milih jawaban. Hla ini? Soal ada 25 nomor tapi jawabannya uraian. Wooo...mantappp! Kegaduhan mulai terdengar disana-sini. Suara bisikan terdengar pelan namun sangat jelas. Lemparan kertas berterbangan dari ujung ke ujung. Tapi sungguh aneh. Bu Kis kenapa diam saja melihat semua ini? Aku buang jauh-jauh pertanyaan ini. Aku tak mau waktuku tersita hanya karena pertanyaan bodoh ini. Kurang satu soal lagi. Kurasa waktu yang tersisa cukup bagiku untuk menyelesaikan soal-soal.
Ini adalah detik-detik terakhir. Kegaduhan mulai berkurang. Suara Ibu Kis memecah keributan anak-anak. “Kumpulkan pekerjaan kalian sekarang!”
Satu demi satu kertas bertumpuk rapi di meja Ibu Kis. Keanehan kembali kurasakan. Biasanya setelah ulangan selesai dan kertas ulangan dalam kuasa Ibu Kis, tak lupa nasihat yang pannn…jang dari sabang sampai merauke terdengar halus di telinga siswa penghuni ruangan 31 ini. Sebenarnya apa yang terjadi??? Tak ada satu pun yang mampu menjawabnya. Aku juga nggak mau ambil pusing. Yang penting selesai ulangan dengan selamat sampai tujuan. Hehee….
Kulirik Sendi dari kejauhan. Kutemukan raut wajah yang sama. Tenang dan senyum selalu mengembang. Mungkin itu mengartikan nilai perfect sudah ditangannya. Tapi aku masih miris dan tidak mampu menerima. Kalau generai muda sudah begini parahnya, siapa yang harus disalahkan? Sekarang, pengakuan bukan dari hasil kejujuran. Tapi dari hasil secarik kertas yang bernilai kebohongan. Kita tidak dapat memungkiri. Seseorang dihargai dan dihormati karena dia mampu memanipulasi. Bukan kompetisi secara sehat. Tidak hanya di lingkup pendidikan, di lingkup pemerintahan juga banyak terjadi. Seseorang disanjung karena telah mampu membalikkan keadaan yang sesungguhnya. Pujian terlalu melambung tanpa kenal yang namanya proses. Bagaimana dengan nasib negara ini kelak? Aku tak tahu. Sekarang sudah retak. Mungkin akan merekah dan selanjutnya hancur. Aku harap tidak! Aku yakin masih ada orang-orang yang peduli akan nasib negara, khususnya para pemuda.
***
“Sen, kamu jujur sama aku! Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kamu jadi begini? Apa yang terjadi? Cerita Sen! Cerita!”
“Sudahlah. Biarkan aku melakukan sesuatu yang aku suka. Aku nggak bikin kamu rugi kan?”
“Sen… . Aku nggak seneng kamu kayak gini. Aku nggak rugi. Tapi sesungguhnya diri kamu sendiri yang rugi.
“Hah? Apa? Nggak seneng? Nggak seneng karena aku bisa nyaingi kamu? Gak seneng karena aku bisa lebih baik darimu? Hahaha…. Ternyata seorang Eri bisa juga iri.”
“Sen! Bukan karena itu. Ok, silahkan kamu saingi aku. Tapi dengan cara yang fair. Nggak dengan cara yang banci kayak gitu!?”
“Apa? Banci? Kamu tu yang banci!”
Emosi Sendi tak dapat ditahan lagi. Dia benar-benar marah. Hampir saja kepalan tangannya mendarat di pipi putihku. Tapi untung dia dapat mengendalikannya.
“Sen, maafin aku. Mungkin aku sudah membuatmu marah.”
Sendi hanya terdiam. Memandang jauh ke depan. Berusaha menenangkan diri.
“Sen. Aku memang salah. Maafin aku. Tapi aku nggak mau kamu terus-terusan dikuasai kebohongan. Aku pengen kamu seperti dulu lagi. Benci yang namanya nyontek. Tapi sekarang kenapa kamu memilih bersahabat dengan racun pelajar itu???”
“Cukup! Aku nggak mau dengar ocehanmu lagi. Aku bosen tahu nggak??! Sudah biarkan aku! Tak usah urusi aku! Aku bukan anak kecil lagi! Aku tahu apa yang terbaik untuk hidupku!”
Aku terdiam. Tak mampu lagi bicara. Raut wajahnya menandakan betapa marahnya dia kepadaku. Aku bingung. Apa yang harus aku lalukan???
Lama kita berdua terdiam. Hanya gemericik air hujan yang memecah kesunyian malam ini. Tak ada bintang. Tak ada bulan. Hanya tetesan air hujan yang mengalun menjadi lagu malam.
“Aku hanya ingin membuat ayahku bahagia untuk terakhir kalinya! Aku Cuma ingin itu. Tak lebih! Apakah kamu tahu itu?”
Aku tak mampu menjawab. Aku tak mengerti apa maksud ucapan Sendi.
“Maksud kamu?”
Kedua mata Sendi menatapku tajam. Sorot matanya tak inginkan aku membalas tatapan mata itu. Aku hanya menunduk. Memandangi kedua kaki yang telah basah oleh air.
“Kamu tak pernah tahu masalahku! Kamu tak pernah peduli segala deritaku! Kamu hanya sibuk mengurusi dirimu sendiri. Egois tahu nggak?!”
Kata-kata Sendi bagai petir menyambar di sore yang hangat oleh cahaya matahari. Tak pernah aku menyangka dia akan menghakimi aku seperti itu.
“Maafkan aku.”
Sendi melirikku.
“Apa? Maaf?”
“Maafkan aku! Mungkin selama ini aku hanya memiliki title seorang sahabat. Tapi tak pernah tahu apa itu sahabat. Tak mengerti sahabat itu apa? Dan bagaimana? Aku terlalu sibuk dengan urusanku. Aku memang egois. Tapi aku coba untuk memikirkan kamu. Aku tak bisa melihatmu begini!”
“Sebagai sahabatku, apakah kamu tahu apa penyebab aku jadi begini? Apa kamu tahu batapa banyak air mata yang telah mengalir di kedua sudut mataku? Apa kamu tahu sahabat di depanmu ini tak lama lagi tak akan mampu mendapat yang namanya kasih sayang orang tua? Aku tak pernah tahu gimana rasanya mempunyai seorang ibu. Aku tak pernah merasakan hangatnya dekapan sang bunda. Aku tak pernah mendengar nyanyian merdu seorang ibu meninabobokkan jantung hatinya. Aku, aku tak pernah tahu itu semua!!! Hanya kasih sayang seorang ayah yang aku dapatkan. Hanya belaian sang ayah yang aku dapat rasakan. Itu tidak cukup! Dan kini semua itu akan berakhir. Semua itu akan terangkai menjadi kenangan. Apakah kamu tahu itu??? Jawab!”
Dia diam dan berusaha menguasai emosi yang semakin lama semakin klimaks.
“Apakah kamu tahu menderitanya aku karena menyontek??? Apakah kamu tahu yang aku rasakan sebenarnya? Dibalik senyum kemenenganku karena nyontek ada sebersit beban, seberkas salah yang selalu menghantuiku. Apakah kamu tahu itu??? Memang nggak gampang menyandang nilai perfect. Ya memang benar. Aku harus mempertanggungjawabkannya. Aku harus membuktikan bahwa aku memang bisa. Bahwa aku memang mampu. Tapi tidak semudah yang aku pikirkan. Apakah kamu tahu itu? Aku takut, jika semua kebohongan ini terungkap. Mungkin semua orang akan mencercaku. Menghinaku. Dan tentunya tak akan percaya akan kemampuanku. Tapi apa daya, sekarang aku sudah hanyut dalam lautan pujian dan terjebak dalam gurun kebohongan. Aku ingin lari dan mengakhiri itu semua. Tapi aku belum sanggup. Aku belum mampu. Dan aku juga belum siap. Aku masih terlena akan indahnya sanjungan. Terlena akan tahta kemenangan. Aku sadar itu semua semu. Tapi apa daya. Aku belum siap bangun dari jebakan ini. Aku tersenyum menang tapi hatiku menangis karena kalah.
Mendengar itu semua. Ada secercah salah yang luar biasa. Rasa egois yang membuat dia hanyut dalam kebohongan belaka. Sekarang aku tahu. Sekarang aku mengerti.
“Aku memang tak pantas menjadi sahabatmu. Aku tak pernah tahu keluh-kesahmu. Aku tak pernah tahu segala kesedihanmu. Tapi, aku masih berharap menjadi sahabatmu walau tak tahu apa itu sahabat. Aku akan berusaha mengerti itu semua.”
“Kamu tahu kenapa aku berubah??? Aku hanya ingin membuat ayahku tersenyum tuk terakhir kalinya. Hanya itu.”
“Apa maksudmu?”
“Sebentar lagi ayah akan meninggalkanku. Ayah akan pergi jauh dan tak akan bertemu dengan anak yang tak tahu apa arti hidup.”
“Aku tak mengerti.” Tanda Tanya mulai memenuhi kepalaku.
“Ayah seringkali membandingkan aku dengan kamu. Dan aku tak suka itu. Memang aku tak sepintar kamu. Aku tak sebanding denganmu. Ayah ingin aku seperti kamu. Dan kamu tahu sendiri siapa aku? Apakah aku mungkin seperti kamu? Apakah aku bisa menjadi seperti yang ayah inginkan??? Aku tak mampu! Karena itu aku memutuskan untuk mengubah arah hidupku. Nyontek adalah pilihanku. Nilai perfect telah aku raih. Tapi kenapa ayah tak senang melihat keberhasilanku??? Apakah ayah tak menghargai aku?
“Sendi, aku tahu. Kamu melakukan ini karena kamu sayang pada ayahmu. Aku ngerti. Kamu hanya ingin membuat ayahmu bangga tuk terakhir kalinya. Tapi kamu salah jalan!”
“Sendi. Ayahmu tak butuh keberhasilan yang hanya kebohongan belaka. Ayahmu ingin kau menjadi dirimu sendiri!!! Ayahmu ingin kamu percaya pada kemampuanmu. Kamu pasti bisa! Berubahlah! Aku yakin ayahmu pasti mengerti. Kita bisa karena terbiasa. Kita mampu kalau kita yakin kita mampu. Dan tentu saja usaha dan doa adalah modal kita mencapai sukses. Tentu saja sukses yang sebenarnya. Kepuasan yang benar sebuah kepuasan. Bukan kepuasan yang bersembunyi dalam kecemasan.
“Tapi itu tak mungkin. Semua telah berlalu. Tak akan ada kesempatan lagi.”
“Kamu jangan meyerah. Jadilah Sendi yang dulu aku kenal. Apa adanya. Ayahmu pasti akan menerima itu semua. Yakinlah!”
Kedua tangannya merangkaiku. Tetesan airmata jatuh satu persatu. Membasahi kegersangan batinnya.
“Maafkan aku Ri. Aku yang salah. Aku yang mesti banyak belajar tentang arti sebuah persahabatan. Terimakasih.”
“Sudahlah. Aku dan ayahmu hanya ingin kamu menjadi dirimu sendiri. Kamu tak perlu menjadi orang lain. Aku yakin kamu memiliki sesuatu yang aku tak punya. Bahkan orang lain tak ada satupun yang memiliki keistimewaan itu kecuali kamu. Tak semua orang bisa seperti kamu. Tak semua orang bisa menjadi dirinya sendiri. Tak semua orang tahu apa arti hidup. Mulai sekarang tunjukkan kepada ayahmu siapa Sendi sebenarnya! Ayahmu pasti bangga. Dan kamu juga harus tahu, dibalik keterbatasan seseorang ada kemampuan dan keistimewaan yang terpendam. Ada kelebihan ada juga kekurangan. Tak ada manusia yang sempurna. Tapi hidup itu menjadikan seseorang untuk berubah ke arah yang lebih baik dari detik ke detik, jika kita tahu dan mengerti makna dari hidup yang sesungguhnya.
“Sekarang alam sudah menunjukkan kebenaran. Ada banyak bukti bahwa kebohongan hanya menimbulkan kebobrokan. Kita lihat negara kita. Korupsi dimana-mana. Setiap hari kita membaca berita tentang penyalahgunaan wewenang di media cetak. Setiap waktu kita melihat kasus-kasus yang tidak bermoral di televisi. Ya, kita baca, mendengar dan melihat dari banyak media. Sungguh memalukan bukan? Dimata dunia juga, mungkin negara kita sudah dipandang sebelah mata. Tanggung jawab kita tak hanya kepada diri kita sendiri tetapi kepada keluarga, masyarakat dan juga negara. Jika kita tidak memulai dengan hal yang baik, siapa lagi? Apakah kita akan menunggu negara kita dijajah lagi? Dan hancur dengan cara yang memalukan? Kita juga akan rugi dan menerima dampaknya. Maka dari itu, selagi kita bisa dan mampu, marilah memberi yang terbaik kepada negara kita dengan modal moral yang baik. Bukan moral yang menipu. Ok! Kita mulai dari lingkungan pendidikan dengan cara membenci dan menghindari mencontek. Kepuasan yang abadi yang akan kita dapatkan dengan hasil kita sendiri. Kita pasti bisa dan mampu!”
“Aku Cuma berharap, semoga cara perpikir dan cara pandang masyarakat Indonesia dalam menilai suatu hal berubah ke arah yang lebih baik. Lebih menerima suatu proses, tidak hanya sebuah hasil. Seperti yang kita tahu. Masyarakat dan guru terkadang lebih mengakui hasil berupa barisan nilai yang perfect 8, 9, 10 daripada proses dan usaha nyata dan jujur dalam barisan nilai do, re, mi. Mungkin mental itulah salah satu aspek yang membuat negara kita menjadi seperti ini. Aku hanya beharap dalam usahaku dan doaku.”
Air mata kami menyatu dengan aliran air hujan. Mengalir menuju samudra yang luas. Yang tak akan terlihat sebagai air mata. Hanya kumpulan air yang akan kita temui. Dan berubah kearah yang lebih baik yang sebenarnya kita butuhkan. Yang paling penting menjadi diri sendiri!!!
Tiba- tiba sesosok tubuh dengan balutan kemeja putih datang mendekati kami. Kucoba mengenali siapa orang itu. Walaupun keremangan malam menghalangiku untuk memandangnya secara jelas, tapi aku yakin dia adalah ayah Sendi. Semain dekat, dekat, dan dekat. Senyum indah menyimpul di bibirnya.
“Kemarilah anakku!”
Sendi berjalan pelan mendekati tubuh yang telah tua itu. Air mata tak mampu tertahan. Dada Sendi sesak. Tak mampu berkata lagi. Tanpa pikir panjang, Sendi mendekap sang ayah. Menangis di pelukan beliau. Semakin lama, semakin erat. Ia tak mau kehilangan satu-satunya orang yang menjadi harta dalam hidupnya. Dia tak punya siapa-siapa lagi selain ayahnya. Jika Tuhan memanggilnya, bagaimana dengan Sendi? Kesepian, kesedihan, kecemasan akan menjadi pengganti yang akan menemaninya dalam perjalanan hidup. Tapi, semoga tidak! Aku yakin Sendi mampu mengatasi itu semua.
Aku tak tahu kenapa angin terasa dingin sekali. Walaupun gerimis sudah lenyap dari pandangan, namun awan gelap masih menghiasi malam ini. Apa yang akan terjadi?
Sendi masih menikmati pelukan sang ayah. Tapi tiba-tiba ia merasakan tubuh ayahnya begitu dingin. Ayanhnya tak bergerak sama sekali. Terdiam memaku. Ada apa ini?
“Ayah. Ayah. Ayah….
Tak ada jawaban.
Dilihatnya wajah ayahnya yang semakin membiru. Tak ada gerakan. Sendi tak kuasa lagi. Digerak-gerakkan tubuh sang ayah. Tapi kaku tanpa daya. Sendi tersadar bahwa ayah telah tiada. Sudah cukup sampai disini perjalanan hidup ayah Sendi. “ Ayaaa…hhhhh”
Sendi tak percaya. Secepat inikah Dia mengambil ayahnya? Dipeluknya tubuh ayahnya. Tak ada pesan terakhir yang sendi dengar. Hanya senyum yang Sendi dapat. Mungkin itu menandakan ayahnya sangat bahagia jika Sendi seperti dulu lagi dan menjadi dirinya sendiri.
Semuanya tlah berakhir. Semuanya gelap. Petir menyambar-nyambar. Dan hujan yang sangat deras membasahi tubuh tak berdaya yang tergeletak di pangkuan sang anak. Sendi berteriak sekeras yang dia bisa. Dia tumpahkan segala kesedihannya dengan menangis sejadi-jadinya. Sekarang, semua kenangan akan dia ukir di dalam benaknya. Sendi akan berubah! Sendi akan tunjukkan kepada ayahnya Sendi bisa seperti apa yang beliau inginkan! Suara Sendi terdengar pelan.
“Selamat tinggal ayah…. Rinduku hanya untukmu”
Malam semakin gelap. Semakin dingin. Dan semakin memilukan. Semoga tidak sepilu nasib Indonesia. Kita ada untuk keluarga, masyarakat dan Indonesia!

1 komentar:

  1. bagus ceritanya,
    bisa buat motifasi.
    jika gag ad nyontek, indonesia mesti maju..
    hehe:)
    lanjutin trus ya..

    BalasHapus