Jumat, 10 Desember 2010

Kasih Sayang yang Hilang

Satu cerita lagi telah kudengar. Berawal dari suatu perkenalan dan sekarang menjelma sebagai teman bahkan sahabat. Hari itu, ketika kita duduk berdua memandang langit saat senja di danau hijau. Kau memulai pembicaraan dengan kata yang sukses membuatku tak mengerti. Kau merampas semua perhatianku dan mengajakku kembali ke dimensi waktu yang lalu.

“Aku benci seorang ayah!” Itulah kata pertama yang kudengar dari mulutnya.

Aku tak mengerti apa maksud dia? Kenapa sosok ayah yang disebutnya? Dan kenapa harus rasa benci? Apakah sosok ayah telah hadir dalam nuansa tak bersahabat sebagai tokoh antagonis? Tapi kenapa harus begitu? Apa yang terjadi sebenarnya? Jika semua anak menyanjung ayah atas segala pengorbanan, ada satu anak yang tidak dalam kelompok itu. Dan itu Dia. Dia yang sekarang duduk menyebelahiku dengan wajah penuh cerita. Dalam kata sederhana, aku mulai meraba-raba dan tentu saja aku gagal mendapatkan jawaban dalam usahaku ini. Apa yang terjadi? Aku mencoba terus memandang langit berusaha mencari jawaban dalam khayalan. Dan terus saja temelontarkan kalimat itu berulang kali. Dan aku pun masih tak mengerti. Aku tak mengerti! Dan aku ingin mengerti! Aku tak mampu aku berkedip. Terus memandang wajahnya yang bisu. Aku tahu ada sesuatu hal yang membuat dia begitu membenci seorang ayah. Tapi apa? Belum aku temukan jawaban itu. Hanya seberkas sakit yang berhasil aku artikan dari matanya yang sayu.

Aku masih terdiam. Kubiarkan dia melampiaskan kemarahannya yang selama ini dia pendam. Lontaran makian menguasai tahta mulutnya. Memang aku baru mengenalnya. Aku tak tahu siapa dia? Aku tak tahu siapa ayahnya? Aku tak tahu siapa keluarganya? Aku tak tahu jalan hidupnya? Aku tak tahu sakitnya? Aku tak tahu lukanya? Aku tak tahu sukanya? Aku tak tahu dukanya? Yang aku tahu hanya namanya. REIN ! dan tahukah kalian? Aku sudah resmi menjadi sahabatnya sejak pertama kali kita bertemu dan saling menyapa. Hebat bukan? Tapi, sahabat macam apa aku ini? Menjadi sahabat sudah hitungan bulan dan jutaan detik tapi tak juga mampu mengenalnya lebih dalam. Hanya sekedar nama itu yang aku tahu tentang dirinya. Memalukan bukan? Seharusnya aku tak pantas jadi sahabat! Tapi apa daya, keterbatasanku mengenal seorang sahabat justru membuat dia yakin bahwa dia menginginkan aku menjadi sahabatnya. Sampai saat ini aku belum tahu apa alasan dia begitu. Aku tak mampu menolak bahkan berkata iya pun aku sangat sanggup karena dia adalah muara dari semua pertanyaanku selama ini. Mungkin memang sudah jalanku dan dia menjadi sahabat dari kata iya sampai detik ini dan sampai kapan pun. Aku yakin dan meyakini! Dan kini, secuil mozaik kehidupannya akan dia bagi denganku. Dan mungkin setelah cerita usai, aku akan lebih mengenalnya meski hanya setitik tinta dalam lautan tinta yang membentuk mozaik dalam sebuah cerita hidup.

Sejenak dia alihkan pandangannya menuju sosokku yang duduk termangu di samping dirinya. Pandangan yang begitu tajam dan berarti. “Apakah kau tahu Rey?” Tentu saja aku akan menjawab “TIDAK!” dengan suara yang lantang. Aku kan bukan dukun atau pun paranormal yang punya indra keenam buat baca dan menerawang kehidupan orang lain. Kayaknya nggak sopan banget gitu. Tapi jawaban itu hanya aku teriakkan di dalam hati. Dan dia kembali menatap langit yang mendung setelah mengucapkan satu pertanyaan itu.

Tak ada jawaban pasti dari mulutku. Kupasang wajah ingin tahu tapi tetap saja diam. Karena aku tahu itu hanya sebuah pertanyaan retorik dan pastinya tak butuh suatu jawaban. Pelan-pelan dan mulai bercerita.

“Dulu, aku merasa menjadi orang yang beruntung. Aku punya segalanya. Aku punya keluarga yang menyayangiku. Aku punya ibu yang selalu memperhatikanku. Aku juga punya....” Tiba-tiba dia terdiam. Memicingkan mata. Memfokuskan pandangan ke satu titik pusat penghayalan. Mungkin mencoba mengingat kenangan tentang sang ibunda.

“Ibuku memanggilku dengan sebutan dedek kecil dan memanggil kakakku dedek besar. Haha….lucu juga. “Baru kali ini aku melihat dia tertawa lepas. Sejak pertama kali aku melihatnya, tak pernah kudapati senyuman terhias dari bibirnya. Tapi sekarang tak hanya senyuman. Tawanya pun aku dapatkan. Bahagianya diriku melihat dia seperti ini. “Ya, dedek kecil. “ Lanjutnya. “Sampai sekarang pun sapaan itu masih terdengar jelas di telingaku walau hanya sebuah ilusi. Dan aku rindu semua itu. Dulu, ketika aku belum bisa memegang sendok, ibukulah yang menyuapi aku. Ibuku yang mengajari aku mengenal hidup. Ibuku yang mengajari aku mengenal Tuhan, Ibuku yang mengenalkanku tentang indahnya hidup dan kehidupan. Ibuku yang mengajariku untuk tidak mengeluh dan selalu bersyukur atas semua yang telah kudapat.”

Aku mencoba menyimpulkan. Ternyata, di mata Rein sosok ibulah yang berperan penuh dalam hidupnya. Sampai saat ini, aku belum mendengar cerita tentang sang ayah. Terus kuarahkan seluruh perhatianku untuknya.

“Aku masih ingat. Ibukulah yang mengenalkanku dengan bangku sekolah. Pertama kalinya aku masuk sekolah dan tak tahu apa itu huruf a, b, c dan apa itu angka 1, 2, 3. Ibuku yang mengantarku dan juga menjemputku ketika bel pulang berbunyi. Dulu, ketika aku belum bisa memakai baju sendiri. Ibukulah yang memakaikannya dengan rasa cinta. Aku masih ingat. Dulu saat pertama kalinya ku memakai seragam baruku, aku melompat girang karena begitu bahagianya bisa sekolah. Seragam baru, tas baru dan sepatu baru. Aku masih ingat. Dulu aku belum bisa memakai dasi dan ibukulah yang melingkarkan dasi itu dileherku. Dulu, aku belum bisa menali sepatuku. Dan ibukulah yang menalikan untukku. Waktu itu aku masih duduk di bangku TK. Jadi masih terlalu kecil untuk melakukan itu semua. Wajahku pun masih innocent.” Dia tersenyum memandangku. Tak kubalas senyuman itu karena kau masih belum mengerti kemanakah cerita ini sebenarnya akan mengalir??? Suasana menjadi sendu. Kedua bola matanya masih terus memandang langit kelabu. Dan berbeda denganku, bola mataku masih juga memandang lekat-lekat wajahnya. Tak mau sedetik pun berkedip karena ketertarikanku yang kuat akan cerita hidupnya.

“Haha…. Aku belum bisa membaca dan menulis. Ibukulah yang mengajariku mengenal huruf dan angka. Mungkin karena keterbatasanku, sampai kelas 1 SD aku belum bisa membedakan antara huruf b dan d. Bodoh sekali bukan? Tapi ibuku masih terus sabar mengajariku. Beliau begitu berarti bagiku. Semuanya yang tak kubisa, beliau selalu membantu. Ketika aku jatuh, ibukulah yang membantuku berdiri. Ketika aku menangis, ibukulah yang mengusap air mataku. Dan ketika aku marah ibuku hanya diam dan tersenyum dan berusaha memaklumi dalam uraian nasihat. Aku masih ingat semua itu!!!”

Sedikit cerita yang membuatku bangga. Ibu, ibu dan ibu. Seorang wanita yang sangat kuat. Bahkan lebih kuat dari seorang ayah.

Ceritapun masih berlanjut. Disela cuilan cerita itu, kumerasakan iri yang mendalam. Aku tak pernah mendapatkan itu. Sejak kecil aku tak mengenal sosok ibu. Aku cuma mengenal ayah. Ayahku adalah hartaku. Ayahku adalah segalanya bagiku. Ayahkulah yang berperan dalam hidupku. Dia adalah ayah dan juga ibu bagiku. Dimataku ayah adalah orang yang paling kuat. Ayahku membanting tulang untukku. Ayahku melakukan segala hal hanya untukku. Semuanya ayah. Ayah, ayah dan ayah. Untuk membencinya pun aku tak mampu. Peran ibu pun aku tak pernah tahu. Semuanya ayah. Karena sejak dulu aku tak mengenal ibu. Ayah pernah memberi tahuku kalau ibuku meninggal saat melahirkanku. Sejak saat itulah, ayah hidup hanya denganku. Dan sekarang mendengar dia mengutarakan kebenciannya pada sang ayah, sungguh aku tak menerima itu! Aku ingin memberontak! Aku ingin membela! Tapi aku tak mampu melakukan itu semua! Aku tak bisa !!! Hanya diam jalan satu-satunya. Dan mungkin kita hidup dalam lembaran takdir yang berbeda.

Kuangkat wajahku memandang langit yang mendung. Awan hitam berkumpul saling menyatu. Hitam kelam, seakan tak mampu lagi menahan beban dan segera ingin memuntahkan. Titik hujan pun menerpa wajahku. Satu demi satu dan mulai menerjang. Semakin lama semakin deras. Aku berniat untuk beranjak. Tapi apa yang aku lihat? Dia tetap diam. Tak menghiraukan hujan datang yang membasahi seluruh tubuhya. Tak ada reaksi sedikitpun darinya. Tetap diam dan terus menerawang langit di satu titik. Memutar kembali memori yang telah lama ia simpam.

Melihat dia yang tetap saja diam, kukumpulkan semua keberanianku untuk mengajaknya berdiri dan berteduh.

“Rein.” Teriakku.

Dia tetap diam dan membiarkan hujan terus mengguyur tanpa elakan.

“Rein!” Tak ada jawaban.

Aku terdiam.

“Rein. Hari hujan. Mari kita berteduh. Kita lanjutkan ceritamu di bawah pohon itu!Kutunjuk pohon besar nan rindang di sudut danau hijau. “Hujan begitu deras. Aku takut akan jadi penyakit.” Kukeraskan suaraku tapi tetap saja tak bereaksi.

“Rein! Apakah kamu mendengarkanku?!” Aku kaget dengan reaksiku sendiri. Aku tak menyangka keberanian telah menjajahku. Aku merasa serba salah. Aku salah membiarkan dia kehujanan sendirian. Dan aku salah jika terus menemaninya menantang penyakit. Terus bagaimana?

Mungkin menuruti apa mau dia lebih aman. Daripada dia dikuasai akan perasaan marah. Kata orang, anak pendiam seperti ini kalau sudah marah paling parah. Melebihi monster manapun. So scary! Itu sih teori yang pernah aku dengar. Tapi nggak tahu juga faktanya seperti apa.

Tak sanggup aku tinggalkan dia sendiri. Aku rela kehujanan demi cerita yang bergulir sampai kata selesai. Aku duduk kembali dan mengikuti jejak menerawang langit luas. Dia masih terdiam. Aku takut dia marah padaku dan tak mau melanjutkan cerita yang sempat terputus karena kekhawatiranku.

“Rey.”

Aku tersentak mendengar dia menyebut namaku. Tapi aku tak mau dia melihat reaksiku ini. Aku malu. Kututupi perasaanku dengan berpura-pura menatap lurus dan memikirkan sesuatu yang aku yakin dia tak kan mampu menebaknya. Dia menghela nafas panjang. Baru kali ini aku melihat orang sepertinya. Cuek bebek. Tapi aku suka teman yang seperti ini. Membuat diriku penasaran. Dan orang seperti dia memang susah ditebak. Beribu rahasia tersimpan dalam dirinya. Dan hari ini, setitik rahasia telah ia ungkap.

“Rey. Ibuku pernah bilang padaku bahwa hidup itu indah jika dihiasi rasa cinta. Dan aku sudah membuktikannya. Aku telah merasakan keindahannya. Ibuku yang mengajari aku bagaimana mencintai sesama. Ibuku juga yang mengajari aku bagaimana menghargai orang lain. Dan ibuku juga yang mengajari aku untuk tak membenci siapa pun. Walaupun orang itu telah menyakiti kita. Meskipun kita telah sakit hati dan terluka karenanya. Tapi itu tak berlaku untuk sosok seperti ayahku.

Sedetik aku berpikir. Aku temukan kata kunci dalam mozaik ini. Ada bahagia dan juga ada luka. Aku senang karena dia ada disini membagi secuil coklat yang mungkin akan segera meleleh. Tapi aku juga tak kuasa menahan air mata karena rasa bangga serta haru yang menguasai tahta hatiku. Sanggupkah aku mendengar cerita yang telah melukainya? Mampukah aku bertahan dalam ketidakberdayaan diantara permainan waktu?

Kisahpun masih berlanjut. Pelan-pelan menuju klimaks.

“Rey. Semua kebahagiaanku telah usai. Semuanya berganti menjadi kisah kelabu yang selalu mengiringi hidupku. Berawal dari hari itu. Hari dimana aku merasa kehilangan. Hari dimana Tuhan telah menjalankan rencananya. Ketika itu, hujan deras. Persis seperti hari ini. Dan ketika itu juga aku duduk disini. Memandang langit, mensyukuri semua yang telah aku dapatkan. Aku melayang bagai kupu-kupu yang terlelap akan kebahagiaan. Aku lupa akan waktu yang tak mungkin terulang. Aku melupakan kesempatan terakhir. Kesempatan! Apa arti sebuah kesempatan?! Aku tak sadar kebahagiaan tak selamanya jadi kebahagiaan. Mataku seakan tertutup untuk melihat kenyataan bahwa cinta akan tergantikan benci. Bahagia akan jadi kecewa. Senang akan jadi duka. Dan membiarkan kesempatan akan menjadi sesal.”

Aku angkat bicara. “Apa maksudmu?”

Dia tundukkan kepala. Terlihat mutiara bening di sudut matanya. Apakah aku sedang bermimpi? Apakah ini nyata? Kutampar wajahku dan aku merasakan sakit karena ulah tanganku sendiri. Aku..aku…aku melihat dia menangis. Aku ….aku…aku…tak sanggup. Aku tak kuasa. Aku ingin hapus semua air mata itu. Tapi aku tak berani. Siapa aku? Semakin lama, tangisnya semakin menjadi. Selama itu juga aku merasa lemah. Haru dengan kepiluannya. Sungguh aku tak sanggup! Kutepis semua ketakutanku. Dengan tangan gemetar, kuhapus air matanya. Kutatap wajah yang telah menumpahkan kesedihan yang telah lama terpendam. Sesak dirasa.

“Awalnya aku berpikir bahwa Tuhan telah merebutnya. Tuhan telah mengambilnya dariku. Tuhan telah merampas semua kebahagiaanku! Tuhan tak sayang aku! Tuhan jahat padaku!” Suaranya meninggi dan emosi terluap.

“Aku telah melakukan kesalahan besar! Tak seharusnya ku menyalahkan Tuhan. Aku sadar akulah manusia paling egois. Manusia tak punya rasa terimakasih. Manusia yang lemah. Manusia yang hanya bisa hidup dengan bergantung kepada orang lain. Aku begitu bodoh! Bodoh! Bodoh!” Sesal yang terungkap dalam kata dan rasa.

“Rein! Apa yang kau katakan?”

“Aku…..aku…aku…..” Suaranya melemah dan tak terdengar. Hanya kudengar suara rintik hujan yang tak kunjung menghilang. Aku dan dia dalam perbedaan. Aku dan dia dalam kenyataan yang bertolak belakang. Sampai kini aku belum mendengar kata ayah disebutnya. Kemanakah sosok sang ayah? Aku belum menemukan jawaban itu. Melihat dia seperti ini, aku merasa ikut dalam permainan hidupnya. Mataku telah basah dan terus menggenangkan air mata. Kuraih tubuhnya. Kuusap air matanya. Kubiarkan dia menangis di sampingku.

Satu rahasia yang meluka mulai terbuka. Kini aku tahu bahwa ibunya telah tiada. Sang pelita hidupnya kini di alam yang berbeda. Sekarang aku dan dia sama. Walaupun kita masih berbeda.

“Rein. Menangislah! Keluarkan semua air matamu jika itu membuat kamu sedikit lega.”

Dia hanya mengangguk pelan. Dan hari pun semakin gelap. Angin malam mulai menggantikan hujan yang telah menemani aku dan dia dalam kesedihan. Aku tahu langit pun mendengar keluh kesahnya. Aku yakin langit peduli akan luka yang selama ini ia pendam. Dan dalam sepi ini aku dan dia bersama.

“Rey.”

“Ya.”

“Pernahkah kau merasakan hangatnya pelukan sang ibunda?”

Deggg…. Aku kaget mendengar pertanyaan itu. Aku tak mampu menjawab. Aku diam mengikuti sepi. Dadaku sesak. Mataku sembab. Dan aliran darahku semakin cepat. Andai dia tahu bahwa aku iri padanya. Andaikan dia tahu jika aku tak pernah tahu bagaimana rasanya mempunyai seorang ibu sepertinya. Andai dia tahu bahwa aku tak pernah merasakan kasih sayang suci dari ibu. Andai dia tahu siapa aku. Andai dia tahu dengan siapa aku hidup. Andai dia tahu betapa hausnya aku akan pelukan seorang ibu? Tentu saja haus dari kasih sayang seorang ibu yang kata orang tak akan usai sepanjang zaman. Aku iri! Aku iri dengannya! Aku iri padamu Rein! Apakah kau tahu semua ini?

“Rey. Apakah kau tak mendengarkanku?”

Haruskah aku jawab pertanyaan ini? Haruskah aku jujur padanya? Haruskah aku mengatakan kenyataan pahit ini? Haruskah? Adakah cara untuk membuatnya mengerti bahwa aku tak sanggup menjawab pertanyaannya?

“Ya.” Jawabku dengan sejuta sesal. Aku tak bisa jujur padamu Rein. Maafkan aku.

“Hmmm, hangat sekali bukan?” Desisnya. “Cintanya bagai selimut saat kita kedinginan. Kasihnya akan selalu ada dalam hati kita. Walau beliau tak ada di depan mata. Suara beliau yang nyaring saat meninabobokkan kita yang membuat kita selalu merindu.

Dadaku semakin sesak mendengarnya. Cukup! Hentikan Rein! Jangan kau teruskan! Aku tak sanggup mendengar itu semua! Jangan kau biarkan rasa iri membuatku membencimu! Tolong, hentikan!!! Aku menjerit dalam diam. Aku menangis dalam kesunyian.

“Tapi Rey, semua itu kini hanya kenangan. Aku tak bisa lagi merasakan hal serupa. Waktulah yang memisahkan kita. Dan sekarang aku merindunya. Kesempatanku untuk mengucap kata maaf telah termakan waktu. Terlambat! Terlambat Rey! Aku tak mampu menundukkan waktu. Kini sesal sudah. Yah, sesal!!!””

“Rein. Aku tahu derita yang kau rasa. Aku tahu luka yang begitu menganga. Aku tahu rindumu yang mendalam. Tapi Rein…. Aku belum sepenuhnya tahu akan keutuhan kisahmu ini. Jika kau mau, berbagilah denganku sampai kata selesai. ”

Egoiskah aku jika aku memaksanya bercerita tentang api hidup yang membara? Maafkan aku Rein jika aku begini.

“Yeah, aku akan teruskan ceritaku.”

Malam ini akan menjadi malam bersejarah buatku. Sedikit keganasan waktu menyelamatkan dirinya dari keegoannya selama ini. Memang semua yang terbaik tak selamanya yang terindah.

“Kenangan dengan ibuku sudah aku kunci rapat-rapat di memori otakku. Aku tahu Rey, dalam benakmu bertanya-tanya dimana sosok ayahku selama ini ? Sebelum ibuku meninggal, aku punya keluarga yang selalu dipenuhi canda dan tawa. Memang, sosok ibulah yang berperan penuh dalam masa kecilku. Tapi peran ayah juga tak aku abaikan. Meski beliau terlalu sibuk dengan pekerjaanya, tapi ayah selalu meluangkan waktu untuk aku, ibu dan kakakku. Setiap hari libur kami menjelajah membuang rasa penat. Jalan-jalan bersama dari satu kota ke kota lain. Aku juga bahagia punya ayah sepertinya. Aku senang masih bisa merasakan perhatiannya. Aku akui ayahku memang seorang yang begitu peduli akan masa depanku dan kakakku. Walau materi yang dia andalkan untuk menunjukan kepeduliannya kepada kami. Sejujurnya kita tak hanya butuh itu. Kita juga butuh waktu bersama-sama membagi cinta dan tentu saja akan tertulis indah di perkamen hidup seorang anak.

Materi? Aku bertanya kepada siapa saja yang mampu menjawabnya. Bisakah kasih sayang ditukar dengan materi ? Bisakah uang membeli cinta? Apakah memang harta, tahta dan keagungan adalah segalanya? Dan kemesraan keluarga bisa ditipu bahkan dihancurkan oleh itu semua? Aku tak sekedar berkata. Aku tak hanya merasa. Sungguh ini apa adanya. Faktalah yang membuktikan dan bukan serpihan kebohongan belaka! Uang ataukah cinta yang membuat hidup bahagia?!

“Itu tak masalah bagiku.” Lanjutnya. “Aku sudah puas dengan itu semua. Aku tak mau menuntut apa-apa dari ayah. Karena kesadaranku akan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Sederhana. Menafkahi keluarga walau tanpa cinta seutuhnya. ”

Beruntunglah dia dengan apa yang pernah dia punya. Tak seperti aku yang haus akan canda tawa keluarga bahkan harta. Tapi aku sudah bersyukur ada sesosok ayah dalam hari-hariku hingga aku mengerti apa arti kehidupan sesungguhnya. Yaitu tentang memberi dan diberi. Tentang menyayangi dan disayangi. Tentang cinta dan mencintai. Bukan tentang nafsu dan kejayaan.

“Tapi, sejak ibu tak ada ayahku menjadi berbeda. Kepeduliannya selama ini sirna entah kemana. Sibuk adalah alasan utamanya untuk lari dari kebiasaan yang telah mengakar. Aku dan kakakku sudah tak merasakan bahagianya berlibur bersama. Bahkan hari libur pun ayahku masih sibuk dengan pekerjaannya. Dan sejak saat itu pula aku mulai membenci akan ayahku. Aku tak peduli akan materi yang ia cari. Aku hanya butuh perhatiaan dan kasih sayang selayaknya seorang ibu mengasuh anak-anaknya. Aku hanya butuh itu! Aku tak butuh rumah megah dan harta melimpah. Aku hanya ingin ayahku mampu menggantikan peran ibu! Aku hanya ingin itu !”

“Kebencianku menjadi ketika aku tahu ayahku beristri lagi dan itu tanpa sepengetahuanku dan kakakku. Seakan-akan beliau tak menghargaiku dan tak pandang aku ini anaknya atau bukan? Mungkin ayah memang butuh seorang pendamping hidup. Tapi aku dan kakakku juga butuh seorang ibu?!Aku tak mengira ayah akan sejahat itu!”

“Di hari pernikahan mereka aku lari dan tak mau menjadi saksi di hari sakral itu. Ya, aku tak bisa berbuat apa-apa. Pasrah saja pada nasib yang menjelma. Dan parahnya lagi, ibu tiriku adalah ibu tiri yang tak punya perasaan. Sejahat-jahat seorang ibu yang pernah aku temui. Aku tak sangka itu semua! Aku akui ibu tiriku elok rupa. Tapi yang perlu kamu tahu Rei, hatinya seperti batu neraka. Dia bukan ibu bagiku dan kakakku. Melainkan dia sebagai nenek sihir di dunia dongeng hidupku. Kejam! Ibu tiriku lebih peduli harta daripada keselamatan anak. Aku masih ingat. Malam itu, waktu sudah menunjukkan jam sembilan malam. Dan aku baru saja menginjakkan kakiku di teras rumah dan mencoba membuka pintu rumah. Aku juga masih ingat. Malam itu hujan deras sekali. Hingga aku menggigil karena kedinginan. Belum berhasil membuka pintu, ibu tiriku sudah berdiri di depan pintu dan membukanya secara kasar. Aku takut! Seakan-akan bukan ibu yang hadir di depanku tapi sesosok wanita dengan wajah yang sangat garang. Dan kamu tahu Rei ibu tiriku bilang apa?” “Sepedanya mana?” “Tanpa mau mendengar jawabanku ibu tiriku pergi begitu saja. Sungguh jahat bukan? Dikala aku didera kedinginan dan rasa capek karena memang aku punya alasan pulang malam. Aku harus menyelesaikan tugas broadcasting-ku malam itu juga. Karena esoknya harus sudah dikumpulkan. Bukan rasa peduli yanhg aku dapat. Tapi rasa tak hormat yang aku terima. Aku ingin sekali memuntahkan kata-kata kasar padanya. Tapi aku tak mampu. Jika itu terjadi, ayahku tak akan mau membela aku. Justru nenek sihir itu yang mendapat belaan ekstra. Menyakitkan bukan? Ayah memang pandai mencari istri. Tapi ayah tak mampu memilih ibu untuk anak-anaknya. Dan sejak saat itu, aku mulai membenci ayahku. Sejak itu sampai detik ini. Aku Cuma berharap, semoga suatu saat hatinya yang keras bisa menjadi lembut dan lebih mengahargai seorang anak. Begitu juga ayahku. Dan kini, aku lari dari kenyataan pahit itu. Dan memutuskan utnuk hidup menjauh dari keluargaku yang tak aku pedulikan lagi.”

Meski aku tak mendengar kata selesai. Aku sudah mencukupkan diri untuk segera beranjak. Biarlah waktu yang akan membuktikan, bahwa yang benar akan menang dan yang kalah akan kalah. Karena Tuhan memang Maha Adil. Dan aku harus membuang rasa benci karena memang aku dan dia berbeda. Kita berdiri di atas lembaran takdir yang tak sama. Aku dan ayahku mengukir cerita, dia dan ibunya menoreh kenangan indah.

erawal dari suatu perkenalan dan sekarang menjelma sebagai teman.

9 komentar:

  1. well done, Rani.
    you've the basic skills of literature is very good and I believe that you can develop it.
    setelah aku baca, ceritanya memang ringan, tapi sangat menarik, pendeskripsiannya juga bagus, dan banyak esensi kehidupan yang saya dapat dari cerita tersebut.
    you've made a difference with other literary works.
    sebagai saran, bagaimana jika kamu menambahkan permainan majas pada cerita tersebut, sehingga akan memperkuat nilai sastranya. At least, tentukan diksi yang tepat pada cerita tersebut.
    Okay, aku tunggu karya sastra yang lain darimu, Ran.

    BalasHapus
  2. koeoke..
    makasih ya nis ???
    komen nya juga jangan berhenti yah ??
    ehehehe.....:))

    BalasHapus
  3. Sebelumnya bolehkah aku bertanya judul cerpen ini kak? :)
    Bagiku, ide cerita nya menarik dan penggambaran keadaan nya bagus sekali, di isi dengan bahasa yang lugas sehingga mempermudah permainan imajinasi pembaca.
    Namun ada satu yang mungkin perlu diperhatikan, yakni pada setting cerita hanya di tunjukkan di satu tempat, sehingga memunculkan kesan kesederhanaan cerita dalam klimaks.

    Alangkah indahnya lagi, jika cerpen ini dikembangkan kembali, menambah klimaks dan karakter pemain.
    Sehingga pembaca seolah terhanyut dalam dunia imajinasi kak Rani yang saya yakin dapat lebih dalam dari ini :)

    BalasHapus
  4. your novel is good,
    develop talent,
    maybe you can make a book that contained your story...
    :)

    BalasHapus
  5. from Devi The Raven (bentar lagi blok-ku aku bikin)
    dek Rani, komenku terbagi jd 3 bagian.
    satu, pujian. Congaratulation for making touching short story. Gak semua orang bisa nulis kyk gini. It's pretty Good.

    dua, review. Overall, ur story still cnsist of Love, Friendship, and a lil' sensitive 'though it's told bout family.

    tiga, kritik. Di awal, kata ganti orang-nya sdkit gak konsisten. Dua, nama orangnya hampir sama kan? Rey dan Rein. I think u can add some more parts how you they meet, and detail of their name. Are they students, classmates or something? You'd better tell this to make it clear.
    salah satu penulis besar pernah bilang: utk bisa menulis karya, orang harus baca sebuah karya. U can read some other short stories as your reference. Semangat ya Rani!

    The Last, aku protes. Kenapa baru kasih tau skrg kalo punya blog dengan banyak artikel gini?

    BalasHapus
  6. ehehhehe....
    makasih mbk deviiii....
    :)
    u're my motivator

    BalasHapus
  7. Untuk kesamaan nama memang saya sengaja. Hal ini bertujuan agar ketika pembaca membaca cerpen ini mereka konsentrasi dari awal kata sampai akhir. Tidak hanya membaca sambil lalu saja. Dengan begitu saya yakin pembaca mendapatkan makna dari cerpen ini.

    BalasHapus