Kamis, 01 April 2010

Cerpen@me@Ibu Aku Merindumu

Yah, DPR. Sebutan untuk pohon rindang di sekolahku. DPR adalah nama beken dari dibawah pohon rindang. Aku sangat merindukannya. Sudah dua minggu aku tak duduk melepas kepenatan di DPR. Sungguh rasa kerinduan telah menguasaiku, Sebagaimana rinduku pada ibu.
Sekarang adalah tanggal 22 Desember. Ya, 22 desember! Hari ini adalah hari ibu. Ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan rasa terimakasih yang tak terkira kepada seorang yang telah rela mempertaruhkan nyawanya demi kita! Demi sang jabang bayi! Tak hanya itu. Beliau tulus ikhlas menjaga, merawat dan membesarkan kita. Bemalam-malam tak dapat tidur hanya karena isakan kita yang tak berguna. Lari kesana kemari mencari obat disaat sakit memusuhi tubuh kita. Terpontang-panting mengais rezeki di jalan Tuhan. Tak ada satu manusiapun yang dapat menghitung seberapa besar pengorbanan seorang ibu. Sungguh kebohongan yang sangat nyata bila seorang anak menganggap bahwa ia bisa membalas semua yang telah ibu berikan.
Disaat semua anak mengungkapkan rasa cinta kepada ibu mereka. Disaat semua orang berkumpul bersama keluarga, bercanda dan tertawa bersama. Disaat semua anak dengan senyum terindah mereka berkata, “Terimakasih Ibu” dengan berjuta-juta kebahagiaan yang tiada terkira. Disaat sebuah keluarga yang utuh merayakan hari ibu dengan jalan-jalan bersama dengan tawa renyah seorang anak. Disaat sebuah keluarga makan bersama dengan menu yang spesial untuk mengungkapkan kecintaan kepada seorang ibu. Disaat semua anak merasakan kehangatan dekapan ibu yang terhiasi butiran permata yang jatuh dari pelupuk mata mereka, membasahi pipi mereka serta tergenggam sebuah cincin permata sebagai hadiah di hari yang istimewa bagi seorang ibu. Disaat semua merasa bahagia,disaat semua merasa ceria,disaast semua merasa suka, hanya aku yang merasa tersiksa. Aku hanya terdiam. Sendiri. Terpaku. Menangisi sebuah titah Tuhan. Hidup tanpa untaian kasih ibunda. Hampa. Tanpa daya. Teriris luka. Tertendang derita. Terkulai sedih. Tertusuk duka.
Angin menampar-nampar tubuhku. Aku pusatkan pandanganku di satu titik di langit yang luas. Mulai berkhayal., bermimpi, dan berekspresi. Dalam ujung khayalku, kenapa yang muncul adalah seorang wanita? Dengan gaun putih bersih yang membalut tubuhnya. Aku tak mampu mengenalinya. Tak hanya kali ini wajah itu memberikan senyum manis kepadaku. Perasaan nyaman dan bahagia menyusup halus kedalam diriku. Menembus pori-pori, melewati aliran darah dan menjalar ke seluruh tubuh. Siapakah dia? Mengapa aku merasa sangat rindu dengannya? Mengapa aku merasa dia sangat berharga? Mengapa aku merasa dia adalah segalanya? Mengapa aku merasa dia adalah milikku? Ya, milikku! Mengapa aku merasa dia adalah orang yang selama ini aku cari? Siapa dia? Siapa dia??? Pertanyaan itu tak mampu terjawab. Butiran mutiara jatuh dari kedua sudut mataku.
Kerinduan telah mengambil tahta di dalam hatiku. Aku tak sanggup lagi berpikir. Seketika khayalanku buyar. Aku menelusuri alam mimpi. Hawa rindu dan kebahagiaan menghampiriku kembali. Menyusup perlahan tapi pasti. Mengalir bersama darahku, mengalir ke seluruh tubuhku. Sebenarnya apa yang terjadi? Aku tak mengerti semua ini. Aku tak mengerti!
Kedua mataku menangkap sesosok wanita. Dia adalah wanita yang ada dalam khayalku. Wanita yang selalu hadir dalam mimpi malamku. Wanita itu memanggilku dengan lembut. Tetapi aneh. Dia memanggilku dengan kata,
“ANAKKU”. Apa maksudnya? Apakah dia ibuku? Ibu yang selama ini aku cari? Ibu yang selama ini aku rindu? Ibu yang selama ini meninggalkanku? Inikah dia? Tapi mengapa ibu tega meninggalkan aku sendiri? Dimana naluri keibuannya? Apakah dia tahu anaknya merasa kesepian? Apakah dia tahu bahwa anaknya haus akan kasih sayang ibunda? Apakah dia tahu anaknya merasa tersiksa tanpa kehadiran seorang ibu disisinya? Apakah dia tahu perasaan iri yang merajai ketika anaknya melihat teman-temannya bersama ibu mereka? Melihat mereka dimanja dengan manisnya sebuah ucapan yang menunjukan kasih sayang seorang bunda? Apakah dia tahu siksaan batin yang selalu hadir dalam kehidupan anak piatu? Apakah dia tahu bagaimana beratnya menjaga senyuman ketika seseorang memakinya dengan kata “anak buangan?” Apakah dia tahu itu semua??!
Kudekati dia. Kutatap wajahnya lekat-lekat. Butiran air mata jatuh satu persatu dari sudut matanya. Matanya yang bening mengisyaratkan aku tuk memeluknya. “Anakku,” desahnya. Kedua tangannya menyentuhku dan memelukku erat-erat. Kehangatan mulai mencuri ruang. “Ibu”. Kata ibu keluar begitu saja dari bibirku. Aku tak menyadarinya. “Ibu. Ibu, kemana saja? Aku rindu kehangatan ini ibu? Ibu. Kenapa ibu tega meninggalkan aku sendiri? Kenapa ibu?” Kedua tangannya terlepas dari tubuhku. Semakin lama, sosok ibu semakin menjauh. Tanpa jawaban. “Ibu…!” Teriakku.
“Ibu…!”
“Ku tunggu kau di surga anakku.” Kata terakhir yang mampu kudenganr sebelum ibu lenyap dari pandanganku.
“Ibu.” Dunia seakan-akan menyalahkanku. Menertawakanku. Kutundukkan kepala. Mengalirkan semua air mata yang selama ini terpendam. Aku tak mengerti semua ini!!! Ibu menungguku di surga. Ibu menungguku!
“Ibu, anakmu akan menemuimu dengan membawa sejuta cinta kasih. Ibu ! Aku rindu padamu. Aku rindu. Ibu! Ibu! Ibu!” Tubuhku terhuyung. Lemas tak berdaya. Mulutku beku, kaku, tak mampu bicara.
“Ibu...,” desisku.
Mimpi telah menghilang. Kedua mataku terbuka. Bukan sesosok ibu yang kulihat tapi birunya langit luas. Namun, air mata masih membanjiri pipiku. Aku tak mampu berkata lagi. Hatiku berteriak, “Tunggu aku ibu!”


Sepi…
Sendiri…
Tak berteman
Mengkhayal…
Melayang kealam mimpi

Hampa…
Tak ada kata yang terucap
Tak ada nada yang terirama
Aku hanya sendiri
Merenungi nasib
Yang tak pasti
Meniti asa
Yang tak kan terjadi

Aku rindu ibu…
Aku rindu ibu…
Ibu…
Ibu…
Dimanakah engkau?
Apakah kau mendengar tangisan anakmu?
Apakah kau merasakan derita anakmu tanpa kasihmu?
Ibu,
Aku merindumu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar